-->

atas

    Saturday 24 April 2021

    Penyakit Pot Belly pada ikan Kakap Putih

    Nama lain: Big belly, skinny pot belly, Pot Belly Disease (PBD)

    Etiologi/ penyebab 
    Penyebab dari penyakit ini belum begitu jelas namun indikasinya berkaitan erat dengan infeksi bakteri intraseluler, gram negatif, cocobasil. Berbagai gambaran patologis dari sindrom ini mendekati dengan deskripsi dari perubahan yang disebabkan oleh Edwardsiella ictaluri [1,2].

    Hospes
    Ikan kakap putih (Lates calcarifer) [1]. Ditemukan pada benih kakap umur 25-50 hari [3]. Ikan dewasa (120gr) juga dapat terserang penyakit ini [6]. Hingga saat ini, penyakit ini hanya ditemukan pada ikan kakap putih saja [8].

    Epizootiologi
    Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Singapura pada tahun 2004. Penyakit ini dapat menimbulkan kematian 80-100% [1]. Penyakit pot belly ini juga ditemukan di negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan Malaysia [8]. Ikan kakap ukuran pembesaran berpotensi menjadi sumber infeksi dari sindrom ini [2]. Kematian juga dapat terjadi pada ikan di pembesaran, namun persentasenya tidak diketahui karena berbaur dengan penyakit lainnya. Mode penularan penyakit pot belly ini belum diketahui. Namun demikian kejadian pot belly lebih sedikit pada kolam dengan kepadatan yang rendah [6]

    Stadium rentan
    Benih usia 3 minggu [1] namun bersifat persisten pada ikan ukuran pembesaran. Penyakit ini dapat menimbulkan perubahan patologi pada ikan pembesaran yang dipelihara di keramba [2] 

    Gejala Klinis
    Ikan yang sakit memiliki gejala menghitam, emasiasi/ kurus, abdomen membesar (oleh karenanya disebut pot belly), perlengketan organ dalam, area anal merah dan bengkak dengan berkas feses menjuntai, otot mengecil (atrofi) [1,3,5]. Dari perilaku, ikan menjadi lemah, memisahkan diri dari kelompoknya, kehilangan keseimbangan (berenang di permukaan atau berdiam di dasar) [8].

    Perubahan patologi
    Secara histopatologi teramati enteritis ulceratif dan nekrotik berat, mengarah ke perforasi dan peritonitis dengan granuloma multifokal meluas (granulomatous enteritis). Koloni bakteri cocobasil teramati di mukosa usus. Lesi yang dihasilkan dari sindrom ini serupa dengan yang digambarkan pada ESC (Enteric septicaemia of catfish), namun pada sidrom ini tidak ditemukan lesi pada otak. Gambaran nekrosis dan granuloma pada sindrom ini malah lebih menyerupai infeksi E. ictaluri pada ikan patin [1]. Pada ikan yang lebih besar, terdapat enteritis granulomatosa yang meluas. Hal ini dapat mengganggu kerja dari usus dan secara tidak langsung mempengaruhi konversi pakan [2].

    Gb. Granulomatous enteritis yang disebabkan oleh penyakit pot belly 
    (picture credit to Gibson-Kueh, 2012)

    Metode Diagnosa
    Diagnosa secara sederhana dapat dilakukan dengan mengamati bentuk ekor ikan yang serupa tepi pisau (knife edge) disertai perut yang membesar dan usus yang dipenuhi massa yang lengket. Pada preparat tekan jaringan lemak organ dalam dan isi usus dapat teramati bakteri cocobasil bipolar [8]. Isolasi bakteri yang berkaitan dengan penyakit ini sulit dilakukan karena lokasinya di intraseluler dam membutuhkan media spesifik. Diagnosa utama dilakukan dengan histopatologi [2,8]. Deteksi menggunakan PCR hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan [8].

    Gb. Ikan dengan pot belly disease memperlihatkan perut yang membesar dan  ekor yang seperti tepi pisau(Picture credit to Wendover, 2011)

    Pencegahan dan Pengendalian
    Pencegahan dengan vaksinasi tidak dapat dilakukan. Penyaringan dan treatmen air laut pada hathceri dapat membantu mencegah infeksi ini. Beberapa pembudidaya berhasil menangani penyakit ini menggunakan antibiotik florfenicol [2]. Perlakuan dengan memanipulasi suhu menjadi lebih tinggi dinilai efektif mengatasi penyakit ini [7]. Pada studi yang dilakukan oleh Fu et al (2014), Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) yang teridentifikasi pada Leukocyte cell derived chemotaxin-2 (LECT2) ikan kakap putih memiliki resistensi terhadap penyakit Big Belly ini. Temuan ini penting agar kedepannya dapat digunakan sebagai seleksi genetik bagi ikan yang resisten terhadap penyakit Big Belly [4].

    Referensi

    1. Gibson-Kueh, S., M. Crumlish, & H.W. Ferguson. 2004. A novel ‘skinny pot-belly’ disease in Asian seabass fry, Lates calcarifer (Bloch). Journal of Fish Diseases 27:731–735

    2. Gibson-Kueh, S. 2015. Barramundi (or Asian Seabass)-Disease & Management Strategies. WAVMA B-1005

    3. Arifin, Z., C.R. Handayani, S.M. Astuti, N. Fahris. 2010. Waspadai Penyakit pada Budidaya Ikan dan Udang Air Payau. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara: Jepara

    4. Fu, G.H., Z.Y. Bai, J.H. Xia, X.J. Liu, F. Liu, Z.Y. Wan, G.H Yue. 2014. Characterization of the LECT2 gene and its associations with resistance to the big belly disease in Asian seabass. Fish & Shellfish Immunology 37:131-138

    5. Fu GH, Bai ZY, Xia JH, Liu F, Liu P, et al. 2013. Analysis of Two Lysozyme Genes and Antimicrobial Functions of Their Recombinant Proteins in Asian Seabass . PLoS ONE 8(11): e79743. doi:10.1371/journal.pone.0079743

    6. Gibson-Kueh, S. 2012. Diseases of Asian seabass (or barramundi), Lates calcarifer Bloch. PhD thesis, Murdoch University.

    7. Michel, A. 2020. Disease control by hyperthermia with non-lethal heat shock. Aquaculture Asia Pacific Volume 16 number 2

    8. Wendover, N. 2011. Important Diseases of Farmed Barramundi in Asia. https://en.engormix.com/aquaculture/articles/barramundi-diseases-t34766.htm


    No comments:

    Post a Comment