-->

atas

    Sunday 9 September 2018

    Whirling Disease (parasit)


    Nama lain
    Black tail [5] (bedakan dengan whirling disease pada ikan kerapu)

    Etiologi/ penyebab
    protozoa myxozoa Myxobolus (Myxosoma) cerebralis [1,2]. Parasit ini berbentuk oval berukuran 10ยตm  dengan dua kapsul polar berbentuk pir [4]

    Hospes
    Spesies salmon, trout, dan grayling paling rentan terhadap parasit ini. Parasit ini menimbulkan infeksi yang berat pada rainbow trout, brook trout, atlantic salmon, kokanee salmon, dan European grayling. Sedangkan brown trout, coho salmon, dan lake trout cukup resisten terhadap penyakit ini pada kondisi percobaan [1]

    Stadium rentan
    Ikan rentan terhadap penyakit ini pada 12 bulan pertama kehidupannya. Benih umur 3 hari adalah usia ikan termuda yang dapat terinfeksi. Ikan usia 4,5 bulan atau lebih tidak menunjukkan gejala klinis akut meskipun terinfestasi dan berperan sebagai karier asimtomatik [1]

    Epizootiologi:
    Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Eropa pada tahun 1904. Jangkauannya kemudian mencapai Afrika, Amerika Selatan dan Utara, Asia, Selandia Baru, dan Eropa. Ikan yang terinfeksi, air, dan lumpur yang terkontaminasi menjadi sumber dan reservoir penyakit. Penularan melalui telur hanya terjadi jika pada saat pemijahan dan pengemasan terpapar air atau lumpur yang terkontaminasi [1]. Secara tradisional, penyakit ini hanya terjadi pada ikan budidaya [5]. Cacing jenis Tubifex dialporkan dapat menjadi sumber infeksi [2]. Spora tahan hidup 10-15 tahun pada lumpur yang terkontaminasi. Infeksi dari parasit ini berdifat subklinis hingga akut[1]. Tingkat keparahan penyakit ini bergantung pada umur saat ikan terpapar, dapat mencapai 100% pada benih yang baru menetas atau tanpa gejala klinis pada ikan usia 6 bulan ke atas. Pada daerah endemic, M. cerebralis menyebabkan penyakit ringan yang terbatas pada hatcheri saja [5].

    Siklus Hidup:
    Spora dilepaskan dari ikan yang mati atau melalui ikan hidup. Spora yang dilepaskan membutuhkan waktu 4-5 bulan di lumpur untuk menjadi infektif [1].  Spora membutuhkan hospes intermediet yakni cacing lumpur (genus tubifex). Pada usus cacing inilah spora bermultiplikasi secara seksual ataupun aseksual [5]. Spora yang dilepas oleh cacing yang merupakan stadium infeksti akan melekat pada hospes definitive dan melakukan migrasi  hingga nantinya dilepaskan kembali [1]. Ketika menempel pada ikan, spora akan berpenetrasi melalui epitel kulit, insang, atau buccal kemudian bermigrasi ke syaraf dan sistem syaraf pusat  lalu berkembang menjadi sporoplasma dan masuk ke dalam usus lalu bermigrasi ke dalam kartilago. Di dalam kartilago, sporozoa berkembang menjadi tropozoit dan bermitosis menghasilkan spora yang menginfeksi kartilago [4].

    Spora yang dilepaskan oleh cacing Tubifex merupakan triactinomyxon actinospores yakni spora yang memiliki ujung bercabang tiga. Sedangkan spora yang keluar dari ikan merupakan myxospora, spora yang berbentuk oval yang memiliki sporoplasma binukleat dan dua kapsul polar yang masing-masing terdapat kumparan (5-6 ulir) [6]. Spora dapat melewati saluran pencernaan predator seperti burung dan berpindah tempat melalui lumpur dan peralatan[3]. Pembentukan spora membutuhkan waktu 52 hari pada suhu 17oC atau 4 bulan pada suhu 7oC [1].

    Gb. Siklus hidup M. cerebralis 
    (picture credit to Woo and Buchmann, 2012)
    Gejala Klinis

    Ikan menunjukkan gejala infeksi setelah 2-8 minggu pasca terinfeksi dimana terdapat gejala berupa gerakan berputar seperti mengejar ekor (rapid tail-chasing) pada ikan trout [1] atau gerakan spiral  sepanjang sumbu transversal tubuh disertai gangguan renang [2]. Pada ikan yang memiliki ketahanan lebih, penyakit berlanjut yang dicirikan dengan perubahan bentuk tulang punggung, termasuk perubahan bentuk abnormal pada kepala, rahang, dan tutup insang [1]. Atau dengan kata lain, teramati scoliosis, kifosis, dan perubahan bentuk sumbu tubuh [5]. Ekor pada ikan trout mengalami perubahan warna menghitam (blacktail) yang disebabkan kehilangan control kromatofora pada bagian caudal [1]. Gejala ekor menghitam hanya terjadi pada ikan usia 3-6 bulan [5]. Benih yang terinfestasi akut tidak menunjukkan gejala klinis kecuali kematian tinggi. Pada ikan dewasa, gejala whirling dan blacktail lebih sedikit namun lebih banyak perubahan rangka tubuh yang permanen. Ikan dengan infestasi ringan tidak menunjukkan gejala klinis namun berperan sebagai karier [1]. Munculnya gejala klinis tergantung berbagai faktor terutama usia saat terpapar. Hingga ikan berukuran 7cm tidak akan ada gejala klinis, ikan berukuran 8-10cm bersifat sebagai karier [3]. Perkembangan dan tingkat keparahan dari gejala klinis ini bergantung pada dosis dan lama paparan, umur, ukuran, strain dari hospes [6].

    Gb. Gejala klinis Whirlingd disease meliputi gerakan berputar, ekor menghitam, perubahan bentuk tulang punggung dan kepala, serta kematian ( Gb. dari Leach et al., 2009)


    Perubahan patologi
    Kulit pada bagian ventral hingga ekor menghitam disertai pembengkokan tulang punggung, perubahan bentuk tengkorak, dan pemendekan operculum [3]. Secara histologi teramati nekrosis kartilago dan terlihat banyak spora pada bagian yang mengalami peradangan [4]. Pada ikan juga dijumpai radang granuloma yang mendesak spinal cord serta menekan batang otak. Tekanan inilah yang berperan dalam menimbulkan gejala berenang yang absnormal. Ekor yang berwarna hitam disebabkan oleh adanya tekanan pada akar ganglia yang mengontrol melanosit kulit pada area caudal. Perubahan bentuk rangka disebabkan oleh gangguan ontogenesis yang diikuti dengan kerusakan kartilago [6]

    Patogenesis
    Parasit memakan kartilago rangka axial. Gejala klinis berupa ekor menghitam disebabkan oleh ketidakstabilan dan kerusakan syaraf simpatik dekat korda spinalis. Syaraf inilah yang mengatur pigmen melanin. Predileksi parasit pada kartilagi ini mengakibatkan ketidakseimbangan dan gerakan tail-chasing atau berputar seperti menangkap ekornya sendiri [5]

    Diagnosa banding
    Infectious haematopoetic necrosis, viral haemorrhagic septicaemia [3]

    Metode Diagnosa
    Diagnosa dapat ditentukan dari gejala klinis dan konfirmasi dengan menemukan spora dan bentuk parasit pada pemeriksaan histopatologi [1]. Diagnosa juga dapat dilakukan secara molekuler. Isolasi spora dapat dilakukan dengan pepsin-trypsin digest (PTD) dan identifikasi presumtif myxozpora yang diikuti diagnose secara histologi. Metode deteksi lainnya adalah sentrifugasi plankton untuk mengonsentrasikan plankton, molekuler dengan in situ hibridisasi, dan LAMP [6].

    Pencegahan dan Pengendalian
    Tidak ada pengobatan yang dapat dlilakukan. Pencegahan lebih baik. Ikan yang sakit dijauhkan dari yang sehat. Serta menghindari importasi serta penggunaan air yang terkontaminasi [1]. Pada ikan yang masih muda, sebaiknya dipelihara pada kolam berplastik atau kolam permanen hingga cukup dewasa dan tahan terhadap infeksi. Spora dapat tahan hingga bertahun-tahun sehingga sekali terinfestasi, parasit akan tetap ada  [2]. Sumber air harus bebas dari patogen. Ozonasi, klorinasi, dan/ UV  atau filtrasi (sand charchoal lebih baik) dapat digunakan untuk membunuh actinospore. Disinfeksi kolam dengan calcium cyanide, calcium cynamide, atau klorin membuat stadium spora tidak aktif sekaligus membunuh hospes invertebrata [6]. Sebagai informasi, spora yang dilepaskan dari ikan tahan terhadap pembekuan dan desikasi dan tahan bertahun-tahun pada kondisi lingkungan yang sesuai. Sedangkan stadium spora yang dilepaskan oleh cacing hidup lebih singkat dan rentan terhadap disinfeksi [3]. Spora ini dapat dibunuh menggunakan pembekuan -20oC, pengeringan selama 1 jam, dan klorin 130ppm selama 1 menit atau lebih,, hidrpgen peroksida >10%, dan pemanasan suhu diatas 75oC selama 5 menit [6]

    Referensi
    1. Hnath, J.G. Chapter 27: Whirling Disease. 223-229pp
    2. Schlotfeldt, H.J. dan Alderman, D.J. 1995. Fish Pathology What Should I do?: A Practical Guide for The Fresh Water Fish Farmer. European Association of Fish Pathologists: UK
    3. Australian Government Department of Agriculture, Fisheries and Forestry. 2012, Aquatic Animal Diseases Significant to Australia: Identification Field Guide, 4Th Edition, DAFF, Canberra.
    4. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostesi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
    5. Noga, E J. 2010. Fish disease : diagnosis and treatment / Second Edition. Blackwell Publishing
    6. Woo, P.T.K. dan Buchmann, K (Ed). 2012. Fish Parasits Pathobiology and Protection. CABI : UK





































    No comments:

    Post a Comment