Nama lain: Red Tail Disease [1]
Etiologi/ penyebabpicornavirus berbentuk icosahedron dengan diameter 30-32 nm. Merupakan RNA virus ssRNA [1]. Virus tidak beramplop ini diklasifikasikan dalam family Dicistroviridae [2]. Virus ini mampu bermutasi dan berkaitan dengan virus lainnya [4]. Virus ini bereplikasi di sitoplasma sel [6].
Hospes Udang vaname pada berbagai
stadia, pada stadium juvenil (0.05 -0.5 gram) menyerang pada 2-4 minggu
pemelihataan di tambak [1]. Virus ini paling infektif pada P. vannamei, P.
setiferus, P. schmitti. Udang lain P.
aztecus, P. duorarum, P. monodon, P. japonicus, P. chinensis terinfeksi secara eksperimen,
penyakit berkembang dan menjadi karier, namun menunjukkan beberapa resistensi
[4]. L. stylirostris resisten terhadap penyakit ini dan dapat menjadi
karier asimtomatik [5].
Stadium infektifVirus TSV cenderung menginfeksi udang juvenil dalam rentang 2-4 minggu penebaran di tambak atau kolam (berat 0,1 – 0,5 gr) dan terjadi secara meluas selama
periode siklus molting tunggal [4]. Penemuan terkini menunjukkan bahwa Taura Syndrom Virus juga menyerang indukan dengan
melanisasi yang cukup parah. TSV belum ditemukan pada nauplii melalui postlarva
awal P. Vannamei [8].
4. Briggs, M., Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, Michael Phillips. 2004. Introductions and movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS REGIONAL OFFICE FOR ASIA AND THE PACIFIC
7. Bondad-Reantaso, M.G., McGladdery, S.E., East, I., and Subasinghe, R.P. (eds.) Asia Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases. FAO Fisheries Technical Paper No. 402, Supplement 2. Rome, FAO. 2001. 240 p.
EpizootiologiVirus ini pertama kali ditemukan di Ekuador pada tahun 1992. Di
Indonesia virus taura terdeteksi sejak tahun 2002 dan mempengaruhi produksi
udang [2]. Penyakit ini termasuk ganas sebab menyebabkan kematian 80-90%. Hasil
akhir yang dapat dipanen hanya sekitar 60% saja [1]. Udang yang mampu bertahan akan membawa virus ini
sepanjang hidupnya [6]. Hanya sedikit pengetahuan
mengenai prevalensi TSV pada populasi udang liar dan meskipun telah terdeteksi
pada P. vannamei dari Amerika dan P.monodon di Taiwan, namun
tidak pernah berdampak terhadap populasi udang tersebut. Sejauh ini TSV
kebanyakan terjadi sebagai infeksi subklinis pada udang liar [4]. Pada daerah enzootik, prevalensi penyakit
ini bervariasi antara 0-100% [6]. Tingkat keganasan
virus ini sama seperti penyakit bercak putih. Virus ditularkan melalui induk,
benih, dan kanibalisme [2].
Mekanisme penyebaran TSV belum pasti, meskipun teori awal berfokus
pada penyebaran melalui PL dan indukan yang terkontaminasi [4]. Penyakit ini
umumnya terjadi 14-40 hari pasca tebar. Apabila infeksi terjadi 30 hari pasca
tebar infeksi berasal dari induk (penularan secara vertikal), bila terjadi 60
hari pasca tebar kemungkinan infeksi berasal dari air (penularan secara
horizontal) [3]. Penularan secara mekanik dapat terjadi melalui insekta dan
burung. TSV terkadang ditemukan pada jaringan water boatman (Trichocorixa reticulate). Pola penyebaran dan kematian P.
vannamei di Texas juga mengindikasikan memakan insekta mungkin menjadi
sumber penyebaran. TSV infektif juga ditemukan pada udang yang memakan seagull
(Latrus atricilla). Pada percobaan juga menunjukkan udang dapat terinfeksi melalui
homogenate udang sakit yang diberikan sebagai pakan. Virus ini akan tetap
infektif setelah dibekukan selama 1-2 siklus, hal ini mengindikasikan kemungkinan
penyebaran antar area melalui udang beku [5].
Faktor pendukungPenyakit ini biasanya terjadi pada akhir pre moulting atau awal
stadia post moulting [1].
Gejala KlinisPada serangan kronis terdapat melanisasi pada tubuh dan abdomen.
Pada stadium per akut hingga akut udang lemah, kutikula lunak, usus kosong,
uropod, telson, dan pleopod berwarna merah. Permukaan tubuh juga berwarna merah
[1]. Warna merah juga dapat teramati di
ekor kipas [3]. Perubahan warna ini terkadang terlihat dan nafsu makan udang
cenderung normal. Udang yang tahan terhadap penyakit ini akan menunjukkan
kesembuhan dimana terdapat lesi multifocal dan melanisasi kutikula seperti
udang terserang bakteri [1]. Pada bagian ekor terdapat pigmentasi gand karena
pergantian kulit (moulting) tidak sempurna [2].
Gb. Nekrosis epitel kutikula akibat infeksi TSV (Picture kredit to Bondad-Reantaso et al., 2001) |
Perubahan patologiVirus ini biasanya ditemukan di dalam sitoplasma sel epitel dan
kutikula udang yang terserang [1]. Dampak penyakit ini terbagi dalam tiga fase.
Berdasarkan patologi anatomi,
pada fase akut udang berwarna kemerahan di bagian ekor, pleopod, hingga
hiperpigmentasi (merah) akibat perluasan kromatofora. Kutikula melunak dan
lambung kosong. Udang yang terinfeksi tifak akan bertahan saat melakukan
moulting. Udang yang sekarat berkumpul di permukaan dan tepian. Fase kedua
merupakan fase transisi/recovery. Kutikula terdapat lesi melanisasi ireguler,
multifokal, dan acak. Melanisasi ini merupakan aggregasi hemosit yang
mengindikasikan area tersebut bertahan dari infeksi TSV. Udang-udang ini
memiliki kutikula keras dan perluasan kromatofora. Apabila moulting berhasil
dilakukan, udang dengan infeksi TSV tidak akan menunjukkan gejala apapun. Udang
pada infeksi TSV fase kronis akan lebih rentan terhadap stres lingkungan
dibandingkan udang normal. Udang ini dapat menjadi karier [6].
Secara histopatologi virus ini menginfeksi
epitel kutikula, lambung depan, lambung belakang, kaki, jaringan hematopoietik,
organ limfoid, dan kelenjar antennal. Hepatopankreas, midgut, midgut caeca,
jantung, otot, syaraf dan ganglia tidak ditemukan gejala klinis. Pada fase perakut-akut, fase ini berlangsung 7 hari dengan perubahan nekrosis
kutikula multifokal-difus, badan inklusi eosinofilik-basofilik (peppered/
buckshot). Area nekrosis
terdapat di epitel kutikula, insang, lambung. Fase
kedua merupakan fase transisi yang berlangsung 5 hari dengan perubahan
melanisasi, hemosit, dan speroid organ limfoid. Pada fase ini, patogen sekunder seperti Vibrio.sp
dapat menginfeksi. Sedangkan fase ketiga, fase kronis
yang berlangsung 5 hari menunjukkan adanya kematian yang perlahan terhenti dan
udang mengalami melanisasi kutikula seperti penyakit pada cangkang. Speroid organ limfoid yang semula hanya
berada di organ limfoid akan berpindah ke area haemocoel (jantung, insang,
jaringan ikat subkutikula, dll) [3,6].
PatogenesisMoulting menjadi media patogenesis virus dimana apabila metabolisme
kalsium di kutikula terganggu dapat mengakibatkan kematian dengan ciri-ciri
cangkang lunak dan bercak melanosis [5]
Diagnosa bandingYHV, bacterial shell disease [5]
Metode Diagnosa Secara wet mount pada kutikula terdapat nekrosis epitel [5]. Secara klinis, penyakit ini berkaitan
dengan eksoskeleton yang lunak dan kromatofora yang meluas. TSV dapat diduga
pada kasus dimana terjadi kematian yang tak biasa pada juvenil hingga indukan
yang disertai dengan molting dan lesi kutikula yang menghitam [8]. CR. Secara histopatologi gambaran spesifik
berupa badan inklusi intra sitoplasmik berbentuk peppered/ buckshot,
lesi nekrosis multifokal pada epitel kutikula. Diagnosa juga dapat dengan ISH,
ME, bioassay, dan western blot [3,5]
Pencegahan dan PengendalianPengendalian penyakit ini belum dapat berjalan secara efektif. Upaya
yang dapat dilakukan adalah pencegahan seperti [1]:
- Mengelola kualitas air secara teratur dan kontinyu dengan pemasangan tandon, penyaringan air sebelum masuk ke petakan.
- Memonitor dan mengelola dasar tambak secara intesif
- Menjaga ketepatan waktu pemberian pakan dan kualitas pakan
- Membatasi kepadatan penebaran benur
- Mendeteksi secara teratur gejala serangan TSV
- Memastikan benih bebas virus. Disinfeksi air dan telur.
- Sanitasi peralatan
- Pemberian imunostimulan selama pemeliharaan
- Tehnik polikultur untuk membatasi patogenesitas virus
Hingga saat ini belum ada vaksin TSV yang
tersedia. Benih resisten TSV dilaporkan telah ditemukan untuk spesies L. Vannamei dan L. Stylirostris. Penggunaan benih SPF atau benih yang diujikan TSV
dengan hasil negatif serta biosekuriti air dan sistem budidaya dapat dilakukan
untuk mencegah masuknya penyakit ini [6]. Di Amerika Tengah, dimana penyakit
TSV bersifat enzootik, managemen budidaya bergeser dengan penggunaan PL P. Vannamei liar daripada PL hatcheri.
Hal ini mampu meningkatkan angka kelulushidupan. Diduga, PL liar memiliki
toleransi lebih tinggi terhadap TSV karena paparan dan seleksi secara alamiah
[7]
Referensi
[1] Amri, K. dan Iskandar Kanna.
2008. Budidaya Udang Vaname: Secara Intensif, Semi Intensif, dan
Tradisional. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
[2]. Arifin, Z., Handayani, R., Sri Murti Astuti, Noor Fahris. 2010.
Waspadai Penyakit pada Budidaya Ikan
dan Udang Air Payau. Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau: Jepara.
[3]. Lio-Po. G.D. dan
Inui, Y. 2014. Health Management in Aquaculture Second Edition. Southeast Asian
Fisheries Development Center, Aquaculture Department.
4. Briggs, M., Simon Funge-Smith, Rohana Subasinghe, Michael Phillips. 2004. Introductions and movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and the Pacific. FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS REGIONAL OFFICE FOR ASIA AND THE PACIFIC
5. Raidal, S., Garry Cross, Stan
Fenwick, Philip Nicholls, Barbara Nowak, Kevin Ellard, Frances Stephens. 1004. Aquatic
Animal Health: Exotic Diseases Training Manual. Murdoch Print:
Australia
6. Lightner,D.V. 2008. Taura Syndrome. European Community Reference Laboratory for
Crustacean Diseases leaflet
7. Bondad-Reantaso, M.G., McGladdery, S.E., East, I., and Subasinghe, R.P. (eds.) Asia Diagnostic Guide to Aquatic Animal Diseases. FAO Fisheries Technical Paper No. 402, Supplement 2. Rome, FAO. 2001. 240 p.
8. Brock, J.A. dan Main, K.L. 1994. A Guide to The Common Problems and Diseases
of Cultured Penaeus vannamei. The Oceanic Institute: Honolulu
.
apakah jika udang mati yang sudah terinfeksi tsv dan dijadikan sebagai pakan ternak akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan hewan ternak tsb? terima kasih, mohon segera dijawan
ReplyDeleteApakah yang dimaksud adalah ternak hewan darat (sapi, kambing, unggas)? Kalau iya, saya tidak tahu persis, karena belum ada penelitian tentang hal itu. Namun hal yang perlu diketahui adalah setiap jenis patogen memiliki inang nya masing2. Udang berasal dari filum krustasea, sedangkan ternak berasal dari filum mamalia atau aves. Patogen di udang ini memiliki kecenderungan lebih besar dapat menular pada spesies yang berada di filum yang sama. Berbedanya filum jelas juga memiliki perbedaan reseptor. Sehingga patogen tidak akan mudah untuk berpindah, berkembang, dan menginfeksi terkecuali memiliki kesamaan reseptor.
Delete